Jumat, 17 Mei 2024
spot_img

Orangtua Jangan Paksakan Anak Untuk Bersekolah di Sekolah Negeri

Berita Terkait

spot_img
PPDB SMPN 9 Dalil Harahap
Ilustrasi: PPDB di SMPN 9 Batam sebelum pandemi. F.Dalil Harahap

batampos – Sekolah negeri di Kepri khususnya Batam yang sudah dicap favorit dipastikan akan jadi rebutan para orang tua saat PPDB nanti. Diperkirakan banyak pihak yang akan tetap memaksa masuk sekolah tersebut dengan berbagai cara.

Hal ini tentunya sangat disayangkan, karena dapat merusak sistem dunia pendidikan di Kepri. Banyak pihak yang lebih mengutamakan kuantitas dibanding kualitas pendidikan. Diantaranya, memaksa menerima siswa diluar kemampuan pengajar dan fasilitas sekolah.

Kepala Ombudsman Perwakilan Kepri, Lagat Siadari mengatakan telah melarang seluruh sekolah negeri untuk menambah rombongan belajar (rombel). Ia juga telah menyurati Kepala daerah mulai dari Gubernur hingga Walikota dan Bupati agar bisa bersikap tegas terhadap larangan tersebut. Sehingga kedepan dunia pendidikan, khususnya Kepri bisa menghasilkan siswa-siswi yang berkualitas.

“Tadi (kemarin, red) sudah surati, tebusan ke Saber Pungli Polda Kepri. Beberapa poin kami minta Kepala daerah tegas sehingga tak terjadinya pelanggaran saat PPDB nanti. Kinerja kepala daerah terkait PPDB ini nantinya akan kami jadikan penilaian dalam pelayanan publik,” ujar Lagat yang dihubungi Batam Pos, kemarin.

Dikatakannya jumlah penerimaan siswa di sekolah negeri terbatas, sehingga tak ada kewajiban untuk setiap anak diterima di sekolah negeri. Tidak semua daerah memiliki anggaran yang cukup, untuk membangun ruang kelas baru sesuai dengan kebutuhan siswa.

“Masyarakat harus paham dan diedukasi soal ini. Jangan memaksakan anak mereka sekolah di sekolah negeri. Karena itu tak wajib, dan jumlahnya terbatas. Apalagi banyak orang tua yang memaksakan anak mereka untuk mendapat sekolah favorit. Ini yang jadi biang masalah PPDB selama ini,” jelas Lagat.

Baca Juga: Daya Tampung Sekolah Negeri Terbatas, Rudi: Tidak Ada yang Larang Tambah Rombel

Menurut dia, adanya penambahan rombel dikarenakan masyarakat yang memaksa memasukan anak ke sekolah favorit. Kondisi itu pastinya akan berpengaruh terhadap jam belajar, fasilitas sekolah dan pengajar yang memadai. Contohnya, memakai ruang labor, musala atau pustaka untuk belajar.

“Ketika dipaksa penambahan rombel, namun tak diimbangi dengan pengadaan anggaran tambahan, dipastikan akan membuat kualitas pendidikan jelek. Sementara pemerintah memang tak memiliki anggaran tambahan yang cukup untuk setiap saat menambah ruang belajar,” ujar Lagat.

Dijelaskan Lagat, pemerintah daerah dan kepala dinas hingga kepala sekolah harus terkait sistem penerimaan siswa. Begitu juga dengan pejabat dan anggota dewan jangan seenaknya saja menitip saudara atau anak di sekolah favorit sehingga menganggu sistem yang sudah ada.

“Yang terjadi tekan menekan, sehingga sistem yang sudah bagus jadi rusak. Padahal ini tentang kualitas pendidikan, yang pastinya didukung denvan standar fasilitas sekolah dan guru yang memadai,” jelasnya.

Sisi lain, ia berharap masyarakat terutama yang mampu bisa sadar diri untuk tidak memaksakan anak sekolah di negeri. Berilah kesempatan kepada masyarakat kurang mampu, yang memang tak sanggup bersekolah di swasta karena mahalnya biaya masuk. Atau dari pemerintah daerah mencari cara bagaimana biaya sekolah swasta bisa terjangkau.

“Justru pemerintah harus mencari cara agar biaya sekolah swasta bisa terjankau, sehingga sekolah negeri tidak menjadi alternatif utama. Misalnya, dengan dana hibah atau lainnya. Orang tua yang punya kemampuan, mereka juga jangan memaksakan di negeri. Memang tak ada larangan, namun alangkah baiknya memberi kesempatan pada yang tak mampu untuk sekolah dj negeri,” jelas Lagat.

Baca Jga: Daya Tampung SMA dan SMK di Batam Tak Seimbang Dengan Jumlah Lulusan SMP

Disisi lain, Lagat juga menduga kepala sekolah yang memaksa menerima siswa lebih atau menambab rombel karena ingin mencari keuntungan. Diantaranya dari dana bos yang didapat setiap siswa setiap tahun ya.

“Dugaan kami, kepala sekolah melebihkan menerima siswa, supaya mendapat dana bos yang berlimpah. Contoh untuk SMA itu setiap siswa per tahunnya dapat Rp 1,5 juta. Diduga mereka bisa memanipulatif anggaran tersebut. Kurang ikhlaskan kedengarnya. Kami juga mempertanyakan pengawasan Dinas dan Inspektorat terkait penggunaan dana bos ini,” jabar Lagat.

Ia juga menyingung soal disparitas dunia pendidikan oleh pemerintah. Dimana setiap sekolah tidak mendapat anggaran yang sama. Sehingga menimbulmk terjadinya kesenjangan antar sekolah. Baik itu dilihat dari fasilitas atau lainnya.

Bahkan, ia menilai pemerintah telah gagal menghapus pikiran masyarakar terkait sekolah favorit. Dimana dulunya, ada perbedaan sekolah favorit berstandarr internasional dan sekolah biasa.

“Nah mindset ini masih terpakai di masyarakat. Apalagi disparitas atas sekolah masih tinggi. setiap sekolah tidak mendapat anggaran yang sama, sehingga berpengaruh terhadap fasilitas. (*)

 

 

Reporter: Yashinta

spot_img

Update