Jumat, 29 Maret 2024
spot_img

Malam Mencekam Pendatang Haram

Berita Terkait

spot_img
Pencarian PMI Tenggelam 2 F Cecep Mulyana scaled e1655637043498
Anggota Basarnas melakukan pencarian pekerja migran Indonesia (PMI) ilegal yang tenggelam di perairan Nongsa,Mnggu (19/6). Pencarian korban tenggelam tersebut di lakukan oleh tim SAR Gabungan dari sejumlah intansi terkait. F Cecep Mulyana/Batam Pos

Tenggelamnya kapal pengangkut Pekerja Migran Indonesia (PMI) lewat jalur ilegal dari Batam menuju Malaysia, tidak pernah membuat jera. Kesulitan hidup di kampung, godaan upah besar, dan rayuan calo adalah kombinasi masalah yang sulit dipecahkan.

Reporter: FISKA JUANDA, JAILANI, YOFI YUHENDRI

 

Semalam setelah menginap di Batam, kabar penting itu datang menghampiri Abdillah dan kawan-kawan. Kurir yang menyambangi hotel tempat mereka menginap sementara memberitahu para pencari kerja asal Lombok, Nusa Tenggara Barat itu segera berangkat menuju Malaysia.

Perasaan riang bersemayam di dada. Harapan bisa mengubah nasib dan menyejahterakan keluarga yang ditinggalkan membuncah seketika.

Selepas matahari tergelincir, Kamis 16 Juni 2022, sebuah mobil Toyota Avanza berkelir hitam membawa rombongan PMI ilegal tersebut menuju Nongsa Pantai di selatan Pulau Batam. Perjalanan dari hotel di kawasan Jodoh ditempuh sekitar 30 menit.

Sedikitpun tak terbersit hari itu akan jadi malam yang menegangkan dan takkan terlupakan sepanjang sisa hidup.

Sesampai di Nongsa Pantai, Abdillah melihat sudah ada rombongan PMI ilegal lainnya yang juga bersiap berangkat ke Malaysia melalui “pintu belakang”. Semuanya satu daerah asal yang sama dengan ia dan kawan-kawannya: Nusa Tenggara Barat.

Abdillah bersama anggota kelompoknya di antara Sahman, Amat, Harum, Zohir, Yusuf dan 24 PMI ilegal lain harus mendaki bukit kecil dan menuruni lereng, untuk mencapai dermaga kayu tempat speedboat yang bakal mengantar mereka mengejar impian ke negeri Jiran.

Saat itu, hari sudah menunjukkan pukul 19.30 WIB. Kondisi di dermaga minim pencahayaan. Keenam orang ini tidak melihat jelas warna speedboat yang mereka naiki. Yang terlintas di pikiran bisa segera bekerja di Malaysia dan menyenangkan keluarga.

Bagian depan speedboat dengan lebar 2 meter dan panjang 5 meter itu, penuh oleh tumpukan tas para pemburu ringgit.

Untuk dapat berangkat, para PMI ilegal masing-masing harus membayar sekitar Rp 9 juta. Meskipun biaya keberangkatan (secara ilegal ke Malaysia) terbilang mahal, jangan bayangkan para PMI ilegal itu bisa duduk layak dan nyaman di dalam speedboat.

Mereka harus duduk sembari memeluk lutut. Sebagian lainnya hanya berjongkok sambil memegang bagian tepi speedboat dan dipegangi teman-temannya sesama PMI ilegal.

Setelah 30 menit bertolak dari dermaga, salah satu dari dua mesin speedboat menghantam gelondongan kayu. Mesin mati seketika. Nakhoda speedboat, biasa disebut tekong, berusaha menghidupkan kembali mesin, tapi sia-sia.

Tak berapa lama, air mulai masuk ke dalam speedboat. Tekong menelepon dan meminta bantuan kawannya. Selang 15 menit, datang perahu kayu yang ukurannya tak jauh beda dengan speedboat.

Tekong dan ABK langsung berpindah ke kapal kayu tersebut dan meninggalkan para PMI ilegal. Melihat gelagat buruk itu, Abdillah dan kawan-kawan ikut berpindah ke kapal kayu tersebut.

Abdillah menuturkan, tekong berusaha meninggalkan para PMI di speedboat. Ia sempat mendengar ucapan tekong ke kawan yang menjemputnya. “Sudah cepat, tinggalkan saja mereka,” kata tekong itu.

Mendengar ucapan tekong ini, Abdillah dan kawan-kawannya ikut berpindah dari speedboat ke kapal penjemput.

Sebagian PMI ilegal berhasil masuk ke dalam kapal, namun sebagian lain hanya bisa bergelantung memegang bagian tepi kapal. Kaki serta separo badan mereka berada di laut.

Meskipun begitu, tekong kapal kayu penjemput tancap gas melarikan kapalnya, tanpa memperhatikan sebagian PMI ilegal yang bergelantungan di sisi luar kapal.

Kapal ini mengalami nasib yang sama dengan kapal pertama. Mesin kapal mati, diduga akibat sampah atau kayu. Di sisi lain, karena beberapa PMI ilegal bergelantungan di bagian luar kapal, kapal pun mulai oleng.

Tekong, ABK, dan teman yang menjemput menceburkan diri ke laut, setelah air mulai masuk ke kapal. Saat kapal tenggelam, ke-30 PMI ilegal ini terpisah satu sama lain.

Abdillah mengaku hanya bisa berenang seadanya. Berusaha untuk tetap mengapung di laut. “Saya sudah berpikir tentang kematian, teringat anak dan istri di kampung,” katanya.

Ada sekitar 30 menit mereka mengapung, lalu datang kapal nelayan yang melintas dan menyelamatkan mereka. “Terlambat beberapa menit saja, saya mungkin sudah mati. Sebab, saya sudah mulai capek dan lemas, tenaga sudah tidak ada lagi,” ungkapnya.

Hal senada disampaikan Sahman. Saat kapal milik teman si tekong mulai tenggelam, ia berusaha mencari kerabatnya, Mawardi, Wirnan, dan Sumiati.

Sahman mengaku bisa berenang, dan terus berusaha mencari kerabatnya. Sekitar 10 menit mengapung, ia menemukan keponakannya Mawardi yang sudah kesulitan mengapung.

Sahman berusaha membantu Mawardi mengapung dan mengambil napas. Tapi, di saat bersamaan, ada beberapa PMI ilegal berusaha menggapainya dan memegang pundaknya. Sehingga membuat Sahman tenggelam.

“Saya berusaha melepaskan pegangan mereka, sembari memegang keponakan (Mawardi). Tapi, makin banyak yang memegang saya. Sehingga saya pun sempat tenggelam,” ujar dia.

Sembari memperagakan kondisi malam itu, Sahman mengatakan, satu tangannya berusaha untuk menjaga dirinya tetap mengapung, sedang satu tangan lainnya memegang keponakannya. Tapi, dari belakang ada beberapa orang memegang pundak, leher dan kepalanya. Sehingga ia pun ikut tenggelam.

Saat tenggelam itu, Sahman berusaha melepaskan pegangan para PMI ilegal lainnya. Namun, saat itu pegangannya ke keponakannya juga terlepas.

“Begitu bisa mengapung lagi, saya melihat ke sekeliling. Keponakan sudah tidak ada lagi. Saya teriak dan panggil namanya, tapi tak jawaban,” ujarnya.

Ia mengaku terapung-apung di laut sekitar 45 menit. Tapi, di detik-detik sebelum diselamatkan nelayan, tenaga Sahman sudah mulai habis.

“Kepala saya sudah mulai masuk ke laut, otak saya berpikir mungkin ini saat terakhir hidup saya di dunia. Ini mungkin saatnya saya kembali menghadap Allah,” ungkapnya.

Di detik-detik mencekam itu, tangannya sempat berusaha menggapai-gapai, sampai akhirnya terpegang bagian tepi perahu nelayan. Saat itu juga, nelayan membantu Sahman naik ke perahu.

Lain halnya dengan Amat. Pemuda asal Batu Jait, Mangilok, Lombok Tengah, mengaku hanya mengingat 7 hingga 10 menit saja saat kejadian.

Ia hanya ingat kapal tenggelam, dan dia berusaha menyelamatkan diri. Setelah itu, ia tidak ingat apapun lagi dan saat sadar sudah terbaring di rumah sakit.

Menurut Zohir -teman sekampung Amat, kondisi kawannya ini sudah tidak sadarkan diri. Namun, Zohir berusaha menyelamatkan Amat yang terus meracau memanggil ibu, anak, dan istrinya.

“Amat terus bilang ibu, ibu, ibu, Fadillah, Fadillah (anak Amat), berulang kali,” ungkap Zohir.

Karena Zohir berpegangan pada tong minyak, ia bisa menyelamatkan Amat.

Harum dan Yusuf mengaku selamat juga setelah berpegangan pada tong minyak. Jika tidak, keduanya mungkin sudah kehabisan tenaga dan tenggelam.

Kejadian naas ini membuat Sahman kehilangan tiga kerabatnya, yaitu Mawardi, Wirnan, dan Sumiati. Amat kehilangan adik iparnya, Muhammad Rohim.

Kepada Batam Pos, Abdillah, Sahman, Amat, Harum, Zohir, Yusuf mengaku harus membayar uang sekitar Rp 9 juta, agar bisa diberangkatkan ke Malaysia secara ilegal.

“Jika buat paspor, lebih mahal lagi. Puluhan juta, kami tidak punya uang segitu,” kata Abdillah.

Sahman, Amat, Harum, Zohir dan Yusuf mengaku bahwa uang untuk berangkat ke Malaysia itu hasil pinjaman ke rentenir. Kini mereka bingung memikirkan utang yang harus dibayarkan.

“Di kampung kami tak ada kerja. Jika ada kerja, seminggu kerja, sebulan tidak ada pekerjaan. Gajinya hanya Rp30 ribu saja sehari, tidak nutup untuk hidup. Anak istri harus makan, anak harus sekolah, makanya kami nekat ke Malaysia,” ungkap Amat.

Saat ditanya, apakah akan balik ke Malaysia lagi? Mereka semua mengaku tidak tahu. Sebab, di kampung mereka tidak ada pekerjaan yang menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Tawaran gaji besar adalah faktor utama pemicu warga Indonesia berbondong-bondong masuk ke Malaysia, kendati harus melalui pintu terlarang. “Memang risiko bekerja secara ilegal di Malaysia adalah tertangkap dan dipenjara. Namun pendapatan sehari, boleh hidup sebulan di kampung,” ungkap Teman Haryono (42), mantan PMI ilegal asal Kediri, Jawa Timur, saat ditemui di Rumah Perlindungan Trauma Centre (RPTC) Tanjungpinang, Jumat (1/7) lalu.

Haryono adalah satu dari ratusan PMI ilegal yang dideportasi pemerintah Malaysia 2021 lalu. Ia sempat dipenjara setelah terjaring razia di sana. “Saya hanya menjalani kurungan sekitar dua bulan, sebelum akhirnya dideportasi ke Indonesia. Namun menunggu waktu deportasi yang cukup lama,” ungkapnya.

*Pengusutan dan Pencegahan
Kapolresta Barelang, Kombes Nugroho Tri Nuryanto, mengatakan sedang melakukan penyelidikan dan pencarian terhadap tekong serta pemilik kapal speedboat.

“Kita lakukan penyelidikan. Termasuk tekong dan pemilik kapalnya siapa. Mereka harus mempertanggung jawabkan,” ujar Nugroho.

Untuk mengantisipasi kasus terulang, kata Nugroho, ia sudah menginstruksikan seluruh kapolsek se-Batam untuk mendata kos-kosan di wilayah masing-masing. Sebab, penampungan PMI ilegal di Batam bermodus kos-kosan.

“Harus didata, jangan-jangan nanti yang kos mempunyai KTP dari Jawa sana. Maka ini harus diantisipasi,” ungkapnya.

Nugroho juga mengimbau kepada masyarakat atau calon PMI yang akan bekerja untuk berangkat sesuai prosedur. Seperti pengurusan di Dinas Tenaga Kerja dan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI).

“Keluar negeri harus sesuai prosedur. Saya lihat kejadian seperti ini memprihatinkan, karena taruhannya nyawa,” ujarnya.

Kasus ini tidak sekali ini saja, tapi sudah berulang kali. Ia menegaskan akan menindaklanjuti seluruh bisnis ilegal ini, mulai dari perekrutan, penampungan, hingga pengiriman. “Tapi dalam kejadian ini, Polresta Barelang tidak bisa bekerja sendiri. Dibutuhkan informasi dari masyarakat, seperti mengetahui tempat penampungan dan pengirimannya,” katanya.

Kasus penyelundupan PMI ilegal ini, masih terus berulang. Penyelundupan tidak hanya melalui jalur belakang, tapi juga jalur depan dengan menggunakan paspor pelancong. Dari data yang didapat Batam Pos, kasus penyelundupan manusia ini berpotensi akan berulang.

Hal ini disebabkan kebutuhan tenaga kerja yang sangat besar di Malaysia untuk sektor perkebunan. Hal ini dibenarkan Kasi Perlindungan dan Pemberdayaan BP2MI Kepri, Darman M Sagala.
“Memang (kami) mendengar kabar, ada kekurangan tenaga kerja kasar (di Malaysia),” kata Darman.

Darman menduga ramainya PMI pulang dari Malaysia saat pandemi menyebabkan beberapa perkebunan di Malaysia kekurangan tenaga kerja kasar.

Tingginya permintaan akan tenaga kerja ini, kata Darman, perlu disikapi semua pihak. Termasuk dari daerah asal para PMI.

“Terkait ini kami sosialisasi terus menerus, agar para WNI (Warga Negara Indonesia) yang ingin bekerja ke luar negeri bisa melalui jalur legal,” tuturnya.

Ia mengatakan, peningkatan kewaspadaan ini demi menjaga keamanan WNI. “Saya ingatkan jangan melewati jalur belakang atau ilegal. Sebab tidak aman, berangkatlah melalui jalur-jalur legal yang sudah disediakan negara,” kata Darman.

Kepala Unit Pelaksana Teknis Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Kepulauan Riau (UPT BP2MI Kepri), Mangiring Hasoloan Sinaga, mengatakan bahwa Kepri, khususnya Batam masih menjadi primadona tempat penyeberangan para PMI ilegal.

“Secara ekonomis, relatif lebih murah,” kata Mangiring, 28 Juni lalu.

Ia menjelaskan, para PMI ilegal tidak perlu membayar biaya lebih, jika ingin keluar negeri melalui Batam. Biaya relatif murah, jika dibandingkan para PMI ilegal memesan tiket penerbangan langsung ke Malaysia.

“Lagian pemainnya (PMI ilegal) ada di sini (Batam) dan di sana (Malaysia). Sudah terjalin koordinasi antara mereka (pemain), sehingga Batam menjadi jalur primadona,” ungkapnya.

Alasan lain Batam sebagai daerah favorit adalah jika PMI ilegal batal berangkat, mereka bisa bekerja di Batam. Kerja di Batam ini juga bisa sementara waktu, sembari mencoba untuk diberangkatkan secara ilegal ke Malaysia.
“Ada kemungkinan seperti itu, jika gagal. Mereka lanjut cari kerja di Batam,” tutur Mangiring

Melihat kondisi yang sedang berkembang di luar negeri dan kebutuhan tenaga kerja kasar. Saat ini, kata Mangiring, sedang terjadi darurat penempatan tenaga kerja non prosedural (PMI ilegal). Ibarat hukum penawaran dan permintaan, begitulah kondisi arus penyelundupan PMI ilegal saat ini.

“Permintaan dari luar (Malaysia) tinggi, tentunya dari sini (Indonesia) kirim terus (PMI Ilegal),” ungkapnya.

Sehingga para pemain PMI ilegal di Indonesia, terus bergerilya mencari orang-orang yang akan dipekerjakan sebagai PMI ilegal. “Arus permintaan tinggi dari tekong di luar (Malaysia), sehingga pemain di Indonesia berusaha memenuhi kebutuhan tersebut,” tutur Mangiring.

Bagaimana cara mengatasi ini? Mangiring mengatakan butuh koordinasi setiap instansi. Ia mengatakan BP2MI sudah berulang kali melakukan edukasi ke masyarakat. Seharusnya Pemerintah Daerah (asal PMI Ilegal) juga berusaha melakukan deteksi dini.

“Tapi deteksi dini sulit dilakukan, tidak mungkin kita menghalangi orang melakukan perjalanan domestik dari NTB ke Batam. Nanti dibilang melanggar HAM pula, jadi serba sulit sebenarnya,” ungkapnya.

Walaupun tantangan yang dihadapi tidaklah mudah. Mangiring mengaku masih optimis dan terus melakukan sosialisasi. “Imbauan terus kami lakukan. Kami juga sosialisasikan bagaimana prosedur memberangkatkan PMI secara legal. Tapi kadang masyarakat tidak sabar, kan butuh waktu,” tutur dia.

Mangiring mengatakan, ada beberapa dampak jika PMI memaksakan berangkat secara ilegal. Tidak hanya tantangan selama perjalanan ke negara tujuan, tapi juga perlakuan dari orang yang mempekerjakan. Sebab, tidak sedikit PMI ilegal diperlakukan kasar dan semena-mena.

“Digaji murah, diperlakukan sesuka hati majikan, tidak ada perjanjian hitam di atas putih,” kata Mangiring. (eja/egi)

spot_img

Update